Kamis, 08 Oktober 2015

Bagaimana Hukum Wanita Berboncengan dengan Ojeg??


·


Ojek Motor
Peran angkutan umum sangat lah penting bagi kehidupan masyarakat, karena bagaimanapun pastilah ada sekelompok masyarakat yang tergantung pada angkutan umum untuk memenuhi kebutuhan mobilitasnya dengan alasan tidak dapat menggunakan kendaraan pribadi, baik karena alasan fisik (anak-anak, orang tua, sakit), alasan legal (tidak memiliki SIM) atau alasan finansial (tidak memiliki kendaraan pribadi). Dewasa ini masyarakat cendrung memilih angkutan yang fleksibel dan cepat untuk mencapai tujuan walaupun harus mengeluarkan ongkos yang lebih besar. Angkutan alternatif yang dipilih masyarakat salah satunya adalah angkutan ojek. Ojek mempunyai kompatibilitas tinggi dalam melayani berbagai sudut permukiman di kota-kota maupun di daerah yang terisolasi dari pelayanan angkutan umum.
Di Indonesia ojek atau ojeg adalah transportasi umum informal berupa sepeda motor atau sepeda, namun lebih lazim berupa sepeda motor. Disebut informal karena keberadaannya tidak diakui pemerintah dan tidak ada izin untuk pengoperasiannya. Penumpang biasanya satu orang namun kadang bisa berdua. Dengan harga yang ditentukan terlebih dahulu dengan tawar menawar dengan sopirnya (tukang ojek), setelah itu tukang ojek akan mengantar ke tujuan yang diinginkan penumpangnya.
Ojek dinilai banyak memberikan keuntungan bagi golongan masyarakat tertentu yang bersifat rutin maupun berkala dalam menunjang mobilitas mereka. Keuntungan lain dari sarana ini lebih disebabkan karena lingkup pelayanan ojek tidak dibatasi oleh rute-rute tertentu seperti angkutan umum lainnya. Biasanya ojek mangkal di persimpangan jalan yang ramai, atau di jalan masuk kawasan permukiman. Selain lebih cepat dan dapat melewati gang-gang yang sempit dan sulit dilalui oleh mobil, ojek mampu memberikan pelayanan yang bersifat dari pintu ke pintu atau dapat mengantar hingga sampai ke rumah.

Pangkalan Ojek
Perintah Allah SWT. Untuk Terikat Dengan HukumNya

Kalau dilihat dari segi keuntungan, ojek sangatlah membantu. Namun sebagai seorang muslim sebelum melakukan suatu perbuatan diperintahkan untuk mengetahui dan melakukan amal perbuatannya sesuai dengan hukum-hukum Allah, karena wajib atas seorang muslim untuk menyesuaikan perbuatannya dengan segala perintah dan larangan Allah SWT. yang telah dibawa oleh Rasulullah saw. Bukan atas dasar tolak ukur adanya kepentingan dan mashlahat. Allah SWT. befirman:
”…Apa saja yang dibawa/diperintahkan oleh rasul (berupa hukum) kepadamu maka terimalah dia. Dan apa saja yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” (QS. Al-Hasyr [59]: 7)
Sehingga sebagai seorang muslim yang terikat dengan aturan Allah, berusaha mencari tahu terlebih dahulu bagaimana sesungguhnya memanfaatkan jasa ojek ini? Bagaimana hukum syara’ memandang jika tukang ojek (dimana pekerjaan ini telah menjadi profesinya untuk mencari nafkah) memboncengi wanita bukan mahramnya, di atas kendaraan yang sama atau di atas ojek tersebut?
Hukum Wanita Naik Ojek

Becak Motor Aceh
Jika kendaraan tersebut diatasnya menggunakan, seperti pelana (semacam tempat duduk tersendiri, dengan pegangannya), atau yang sejenis, dimana kalau wanita tersebut naik dibelakangnya, dia tidak akan menyentuh pemboncengnya, dan rute perjalanannya di dalam kota, dengan kata lain tidak melintasi kawasan terpencil, maka hukumnya boleh jika memenuhi dua syarat ini : (1) wanita tersebut naik di belakangnya sementara dia tidak menyentuh pemboncengnya, dan (2) tidak membawanya, kecuali pada rute dimana mata orang bisa memandangnya.

Unta
Alasannya karena Rasulullah SAW, pernah membawa Asma’ ra (adik ipar nabi) di Madinah, tatkala dia memikul beban yang berat di atas kepalanya. Maka, rasulullah saw, hendak menundukkan untanya agar bisa dinaiki Asma’, namun Asma’ lebih suka melanjutkan perjalannya dengan tidak menaiki (unta Nabi). Sudah lazim diketahui, bahwa di atas unta ada punuk, dimana yang pertama bisa dinaiki seseorang, setelah itu berikutnya bisa dinaiki di belakangnya, sementara orang yang kedua tidak harus menyentuh orang yang pertama. Punuk tadi ada diantara kedua orang tersebut. Orang yang kedua pun bisa memegang punuk tadi sesuka hatinya. Dengan kata lain, unta itu merupakan kendaraan yang memungkinkan untuk dinaiki dua orang, dimana satu sama lain tidak harus saling berpegangan. Al Bukhari telah mengeluarkan dari Asma’ binti Abu Bakar, berkata :
Saya pernah membawa benih dari tanah az-Zubair (suami saya), yang telah diberikan oleh Rasulullah saw, dipanggul di atas kepala saya … sampai pernyataan beliau : Kemudian, Rasulullah saw berkata : “Ikh, ikh agar beliau bisa membonceng saya di belakang, tetapi saya merasa malu …
Ikh ikh maksudnya, belau ingin merundukkan untanya (supaya bisa dinaiki Asma’ di belakangnya).
Karena itu, jika bagian punggung kendaraan tersebut memang siap untuk dinaiki dua orang, tanpa harus bersentuhan satu sama lain, sementara rute perjalanannya bukan dikawasan sepi (terpencil), maka hal itu boleh (mubah). Tetapi, jika tidak( memenuhi dua syarat tersebut ), maka tidak boleh (haram).
Sehingga bisa ditarik kesimpulan, bahwa kendaraan ( yang dimaksud, yaitu ojek), yang ada wanita di atasnya, di belakang lelaki (bukan mahram) tersebut jelas tidak demikian. Ojek tidak mempunyai sekat pemisah langsung. Artinya, diatas punggungnya tidak ada sesuatu yang bisa dinaiki dua orang, sementara satu sama lain tidak saling menyentuh. Karena itu, dalam konteks seperti ini hukumnya tidak boleh (haram). Namun, kalau tukang ojek ingin membonceng di belakangnya, hendaknya membonceng dari kaum laki-laki saja, atau membawa kaum wanita tersebut dengan mengendarai kendaraan seperti motor tossa yang di belakangnya ada gerobak pengangkut, atau becak motor Aceh, becak motor Gorontalo, bentor Medan dan sejenisnya, sementara pria pengendaranya (si sopir) membawa mereka. Bukan dengan wanita tersebut naik di belakangnya (ojek) dan memegang ( tubuh pengemudinya ), maka ini hukumnya tidak boleh (haram).

Becak Motor Gorontalo

Bajaj
Sungguh, seluruh perbuatan kita sebagai manusia akan ditanyai oleh Allah SWT. Apakah sesuai dengan aturanNya ataukah tidak dan itu semua akan diminta pertanggungjawaban kelak di akhirat. Sebagai seorang muslim yang sadar dengan ketidakmampuannya menahan siksa dari Sang Maha Penghisab Allah SWT akan terus berupaya mentaati segala aturanNya. Sehingga bagaimana mungkin manusia membuat aturannya sendiri sementara pertangungjawaban bukanlah kepada manusia melainkan kepada Allah SWT. [NTa]
Wallahu A’lam…

0 komentar:

Posting Komentar